38 kata kata Mutiara Hikmah Ibnu Qayyim
Mengenal lebih dekat Imam Ibnu Qayyim al-Jauzi Rahimahullah.
Bissmilah.
Walhamdulillah Wa Sholatu 'Ala Rasulillah Ama ba'du;
Mengenal lebih dekat Imam Ibnu Qoyyim al-Jauzi Rahimahullah.
Ibnu Qayyim lahir pada 7 Rajab 691 H (1292 M) dan pada akhirnya tutup usia setelah menginjak usia keenam puluh tahun tepatnya pada malam 13 Rajab 751 H (1350 M) dan dikebumikan di samping kuburan ayahnya di Damaskus.
Guru-guru dan Murid-muridnya
Ibnu Qayyim al-Jauzi berguru kepada banyak guru yang di antara guru-guru tersebut adalah orang-orang seperti Dzahabi dan Ibnu Taimiyah. Akan tetapi guru utamanya adalah Ibnu Taimiyah sedemikian sehingga ia dikenal sebagai murid paling utama Ibnu Taimiyah dan bahkan dinamai sebagai kepala murid (ketua kelas) sedemikian sehingga Ibnu Taimiyah tidak disebut namanya kecuali nama Ibnu Qayyim al-Jauzi juga disebut namanya secara bersamaan.
Di antara murid-muridnya juga kita dapat meyebut orang-orang seperit Ibnu Katsir dan Subki yang merupakan dua ulama terkenal Sunni.
Ibnu Qayyim al-Jauzi banyak menulis buku. Sebagian orang menyebutkan bahwa karya Ibnu Qayyim al-Jauzi berkisar delapan puluh karya yang ia tulis dan tinggalkan.
38 kata mutiara ibnu Qayyim yang penuh hikmah mengadung artimedalam
[1] Imam Ibnul Qayyim rahimahulllah berkata, “… Seandainya
ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan
mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat
tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang
munafik.” (lihat al-Fawa’id, hal. 34)
[2] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
merenungkan keadaan alam semesta dan berbagai keburukan yang terjadi padanya,
niscaya dia akan menyimpulkan bahwa segala keburukan di alam semesta ini
sebabnya adalah menyelisihi rasul dan keluar dari ketaatan kepadanya. Demikian
pula segala kebaikan yang ada di dunia ini sebabnya adalah ketaatan kepada
rasul.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [2/236-237])
[3] Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Barangsiapa yang
mencermati syari’at, pada sumber-sumber maupun ajaran-ajarannya. Dia akan
mengetahui betapa erat kaitan antara amalan anggota badan dengan amalan hati.
Bahwa amalan anggota badan tak akan bermanfaat tanpanya. Dan juga amalan hati
itu lebih wajib daripada amalan anggota badan. Apa yang membedakan orang mukmin
dengan orang munafik kalau bukan karena amalan yang tertanam di dalam hati
masing-masing di antara mereka berdua? Penghambaan/ibadah hati itu lebih agung
daripada ibadah anggota badan, lebih banyak dan lebih kontinyu. Karena ibadah
hati wajib di sepanjang waktu.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 14-15)
[4] Ibnul Qayyim rahimahullah menegaskan, “Amalan-amalan
hati itulah yang paling pokok, sedangkan amalan anggota badan adalah
konsekuensi dan penyempurna atasnya. Sebagaimana niat menduduki peranan ruh,
sedangkan amalan laksana tubuh. Itu artinya, jika ruh berpisah dari jasad,
jasad itu akan mati. Oleh sebab itu memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan
gerak-gerik hati lebih penting daripada mengetahui hukum-hukum yang berkaitan
dengan gerak-gerik anggota badan.” (lihat Ta’thir al-Anfas, hal. 15)
[5] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Thaghut adalah
segala sesuatu yang menyebabkan seorang hamba melampaui batas, berupa
sesembahan, sosok yang diikuti ataupun ditaati. Sehingga thaghut dari setiap
kaum adalah orang yang menjadi patokan hukum bagi mereka selain Allah dan
Rasul-Nya. Atau mereka beribadah kepada-Nya, selain beribadah kepada Allah.
Atau mereka mengikutinya tanpa berdasarkan bashirah/ilmu dari Allah. Atau
mereka taat kepadanya dalam urusan yang tidak mereka ketahui apakah hal itu
termasuk bagian ketaatan kepada Allah. Inilah thaghut yang ada di alam semesta.
Apabila kamu memperhatikannya dan mencermati kondisi manusia -dalam
berinteraksi- bersama mereka (thaghut, pent), niscaya kamu akan melihat bahwa
kebanyakan orang telah berpaling dari ibadah kepada Allah menuju ibadah kepada
thaghut. Berpaling dari taat dan mengikuti Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa
sallam menuju taat dan mengikuti thaghut.” (lihat Taisir al-‘Aziz al-Hamid,
hal. 142)
[6] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Bahkan, ibadah
kepada Allah, ma’rifat, tauhid, dan syukur kepada-Nya itulah sumber kebahagiaan
hati setiap insan. Itulah kelezatan tertinggi bagi hati. Kenikmatan terindah
yang hanya akan diraih oleh orang-orang yang memang layak untuk
mendapatkannya…” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/97])
[7] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada
ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas.
Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah
kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya
kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya
sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan
dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada
binatang melata di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih
rendah daripada dirinya ketika itu.” (lihat al-‘Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu,
hal. 96)
[8] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah subhanahu
menjadikan ilmu bagi hati laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana tanah/bumi
tidak akan hidup kecuali dengan curahan air hujan, maka demikian pula tidak ada
kehidupan bagi hati kecuali dengan ilmu.” (lihat al-‘Ilmu, Syarafuhu wa
Fadhluhu, hal. 227).
[9] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Manusia itu,
sebagaimana telah dijelaskan sifatnya oleh Yang menciptakannya. Pada dasarnya
ia suka berlaku zalim dan bersifat bodoh. Oleh sebab itu, tidak sepantasnya dia
menjadikan kecenderungan dirinya, rasa suka, tidak suka, ataupun kebenciannya
terhadap sesuatu sebagai standar untuk menilai perkara yang berbahaya atau
bermanfaat baginya. Akan tetapi sesungguhnya standar yang benar adalah apa yang
Allah pilihkan baginya, yang hal itu tercermin dalam perintah dan
larangan-Nya…” (lihat al-Fawa’id, hal. 89)
[10] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perkara paling
bermanfaat secara mutlak adalah ketaatan manusia kepada Rabbnya secara lahir
maupun batin. Adapun perkara paling berbahaya baginya secara mutlak adalah
kemaksiatan kepada-Nya secara lahir ataupun batin.” (lihat al-Fawa’id, hal. 89)
[11] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ada tiga pokok yang
menjadi pondasi kebahagiaan seorang hamba, dan masing-masingnya memiliki lawan.
Barangsiapa yang kehilangan pokok tersebut dia akan terjerumus ke dalam
lawannya. [1] Tauhid, lawannya syirik. [2] Sunnah, lawannya bid’ah. Dan [3]
ketaatan, lawannya adalah maksiat…” (lihat al-Fawa’id, hal. 104)
[12] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dan perhatikanlah
hikmah yang Allah ta’ala simpan di balik mengapa Allah menjadikan para raja,
pemimpin, dan penguasa bagi manusia orang-orang yang serupa [buruknya] dengan
perbuatan mereka (rakyat). Bahkan, seolah-olah amal perbuatan mereka itu
terekspresikan di dalam sosok para penguasa dan raja-raja mereka. Apabila
rakyat itu baik niscaya baik pula raja-raja mereka. Apabila mereka (rakyat)
menegakkan keadilan niscaya para penguasa itu menerapkan keadilan atas mereka.
Dan apabila mereka berbuat aniaya (tidak adil) maka raja dan penguasa mereka
pun akan bertindak aniaya kepada mereka. Apabila di tengah-tengah mereka merebak
makar (kecurangan) dan tipu daya, maka demikian pula pemimpin mereka. Apabila
mereka tidak menunaikan hak-hak Allah dan pelit dengannya, demikian pula para
penguasa mereka akan menghalangi hak-hak rakyat yang semestinya ditunaikan
kepada mereka…” (lihat Da’aa’im Minhaj Nubuwwah, hal. 258 oleh Syaikh Muhammad
Sa’id Raslan)
[13] Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sumber dari
semua fitnah [kerusakan] adalah karena mendahulukan pemikiran di atas syari’at
dan mengedepankan hawa nafsu di atas akal sehat. Sebab yang pertama merupakan
sumber munculnya fitnah syubhat, sedangkan sebab yang kedua merupakan sumber
munculnya fitnah syahwat. Fitnah syubhat bisa ditepis dengan keyakinan,
sedangkan fitnah syahwat dapat ditepis dengan kesabaran. Oleh karena itulah Allah
Yang Maha Suci menjadikan kepemimpinan dalam agama tergantung pada kedua
perkara ini. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami menjadikan di antara
mereka para pemimpin yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika
mereka bisa bersabar dan senantiasa meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. as-Sajdah:
24). Hal ini menunjukkan bahwasanya dengan sabar dan keyakinan akan bisa
dicapai kepemimpinan dalam hal agama. Allah juga memadukan keduanya di dalam
firman-Nya (yang artinya), “Mereka saling menasehati dalam kebenaran dan saling
menasehati untuk menetapi kesabaran.” (QS. al-‘Ashr: 3). Saling menasehati
dalam kebenaran merupakan sebab untuk mengatasi fitnah syubhat, sedangkan
saling menasehati untuk menetapi kesabaran adalah sebab untuk mengekang fitnah
syahwat…” (lihat Ighatsat al-Lahfan hal. 669)
[14] Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya berhukum dengan
selain hukum yang diturunkan Allah mencakup dua jenis kekafiran; ashghar dan
akbar, tergantung keadaan orang yang mengambil keputusan hukum. Apabila dia
meyakini bahwa dia wajib menerapkan hukum Allah atas kejadian ini namun dia
berpaling darinya karena maksiat dan di saat yang sama dia mengakui bahwa
dirinya layak untuk menerima hukuman maka ini adalah kufur ashghar. Namun,
apabila dia meyakini bahwa hal itu tidak wajib, atau dia bebas [untuk
mengikutinya atau tidak, pent], sementara dia yakin bahwa itu adalah hukum
Allah; maka ini adalah kufur akbar. Adapun apabila dia tidak tahu atau
tersalah, maka orang ini terhitung sebagai pelaku kekeliruan -yang tidak disengaja-
sehingga baginya berlaku hukum orang yang tak sengaja berbuat kesalahan.”
(lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [2/400])
[15] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
menginginkan kejernihan hatinya hendaknya dia lebih mengutamakan Allah daripada
menuruti berbagai keinginan hawa nafsunya. Hati yang terkungkung oleh syahwat
akan terhalang dari Allah sesuai dengan kadar kebergantungannya kepada syahwat.
Hancurnya hati disebabkan perasaan aman dari hukuman Allah dan terbuai oleh
kelalaian. Sebaliknya, hati akan menjadi baik dan kuat karena rasa takut kepada
Allah dan berdzikir kepada-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 95)
[16] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang
hamba mendapatkan hukuman yang lebih berat daripada hati yang keras dan jauh
dari Allah.” (lihat al-Fawa’id, hal. 95).
[17] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya sabar
dan syukur menjadi sebab seorang hamba untuk bisa memetik pelajaran dari
ayat-ayat yang disampaikan. Hal itu dikarenakan sabar dan syukur merupakan
pondasi keimanan. Separuh iman itu adalah sabar, separuhnya lagi adalah syukur.
Kekuatan iman seorang hamba sangat bergantung pada sabar dan syukur yang
tertanam di dalam dirinya. Sementara, ayat-ayat Allah hanya akan bermanfaat
bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan meyakini ayat-ayat-Nya. Imannya
itu pun tidak akan sempurna tanpa sabar dan syukur. Pokok syukur itu adalah
tauhid. Adapun pokok kesabaran adalah meninggalkan bujukan hawa nafsu. Apabila
seseorang mempersekutukan Allah dan lebih memperturutkan hawa nafsunya, itu
artinya dia belum menjadi hamba yang penyabar dan pandai bersyukur. Oleh sebab
itulah ayat-ayat yang ada menjadi tidak bermanfaat baginya dan tidak akan
menumbuhkan keimanan pada dirinya sama sekali.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala
at-Tafsir [1/145])
[18] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “…Sesungguhnya
kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah yang lurus, tiada jalan yang
mengantarkan kepada-Nya selain jalan itu. Yaitu beribadah kepada Allah tanpa
mempersekutukan-Nya dengan apapun dengan menjalankan syari’at yang
ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan
dengan hawa nafsu maupun bid’ah…” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 116-117)
[19] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Sesungguhnya
kehidupan yang membawa manfaat hanya bisa digapai dengan merespon seruan Allah
dan rasul-Nya. Barangsiapa yang tidak merespon seruan tersebut maka tidak ada
kehidupan sejati padanya. Meskipun dia memiliki kehidupan ala binatang yang
tidak ada bedanya antara dirinya dengan hewan yang paling rendah sekalipun.
Oleh sebab itu kehidupan yang hakiki dan baik adalah kehidupan orang yang
memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya secara lahir dan batin. Mereka itulah
orang-orang yang benar-benar hidup, walaupun tubuh mereka telah mati. Adapun
selain mereka adalah orang-orang yang telah mati, meskipun badan mereka hidup.
Oleh karena itu orang yang paling sempurna kehidupannya adalah yang paling
sempurna dalam memenuhi seruan dakwah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena sesungguhnya di dalam setiap ajaran yang beliau dakwahkan terkandung
unsur kehidupan sejati. Barangsiapa yang kehilangan sebagian darinya maka dia
kehilangan sebagian unsur kehidupan itu, bisa jadi di dalam dirinya terdapat
kehidupan sekadar dengan responnya terhadap ajakan Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” (lihat al-Fawa’id, hal. 85-86)
[20] Ibnul Qayyim berkata, “Allah subhanahu mengabarkan
bahwasanya Dia telah mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya
supaya umat manusia menegakkan timbangan (al-Qisth) yaitu keadilan [lihat QS.
Al-Hadid: 25]. Diantara bentuk keadilan yang paling agung adalah tauhid. Ia
adalah pokok keadilan dan pilar penegaknya. Adapun syirik adalah kezaliman yang
sangat besar. Sehingga, syirik merupakan tindak kezaliman yang paling zalim,
dan tauhid merupakan bentuk keadilan yang paling adil.” (lihat ad-Daa’ wa
ad-Dawaa’, hal. 145)
[21] Beliau juga berkata, “Sesungguhnya orang musyrik adalah
orang yang paling bodoh tentang Allah. Tatkala dia menjadikan makhluk sebagai
sesembahan tandingan bagi-Nya. Itu merupakan puncak kebodohan terhadap-Nya,
sebagaimana hal itu merupakan puncak kezaliman dirinya. Sebenarnya orang
musyrik tidaklah menzalimi Rabbnya. Karena sesungguhnya yang dia zalimi adalah
dirinya sendiri.” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 145)
[22] Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Amalan-amalan
hati itulah yang paling pokok, sedangkan amalan anggota badan adalah
konsekuensi dan penyempurna atasnya. Sebagaimana niat itu menduduki peranan
seperti halnya ruh, sedangkan amalan itu laksana tubuh. Itu artinya, jika ruh
berpisah dari jasad, maka jasad itu akan mati. Oleh sebab itu memahami
hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik hati itu lebih penting daripada
mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan gerak-gerik anggota badan.” (lihat
Ta’thir al-Anfas, hal. 15)
[23] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ketakwaan yang
hakiki adalah ketakwaan yang berakar dari dalam hati bukan semata-mata
ketakwaan dengan anggota badan.” (lihat al-Fawa’id, hal. 136)
[24] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Kelezatan
mengikuti rasa cinta. Ia akan menguat mengikuti menguatnya cinta dan melemah
pula seiring dengan melemahnya cinta. Setiap kali keinginan terhadap al-mahbub
(sosok yang dicintai) serta kerinduan kepadanya menguat maka semakin sempurna
pula kelezatan yang akan dirasakan tatkala sampai kepada tujuannya tersebut.
Sementara rasa cinta dan kerinduan itu sangat tergantung kepada
ma’rifah/pengenalan dan ilmu tentang sosok yang dicintai. Setiap kali ilmu yang
dimiliki tentangnya bertambah sempurna maka niscaya kecintaan kepadanya pun
semakin sempurna. Apabila kenikmatan yang sempurna di akherat serta kelezatan
yang sempurna berporos kepada ilmu dan kecintaan, maka itu artinya barangsiapa
yang lebih dalam pengenalannya dalam beriman kepada Allah, nama-nama,
sifat-sifat-Nya serta -betul-betul meyakini- agama-Nya niscaya kelezatan yang
akan dia rasakan tatkala berjumpa, bercengkerama, memandang wajah-Nya dan
mendengar ucapan-ucapan-Nya juga semakin sempurna. Adapun segala kelezatan,
kenikmatan, kegembiraan, dan kesenangan -duniawi yang dirasakan oleh manusia-
apabila dibandingkan dengan itu semua laksana setetes air di tengah-tengah
samudera. Oleh sebab itu, bagaimana mungkin orang yang berakal lebih mengutamakan
kelezatan yang amat sedikit dan sebentar bahkan tercampur dengan berbagai rasa
sakit di atas kelezatan yang maha agung, terus-menerus dan abadi.
Kesempurnaan seorang hamba sangat
tergantung pada dua buah kekuatan ini; kekuatan ilmu dan rasa cinta. Ilmu yang
paling utama adalah ilmu tentang Allah, sedangkan kecintaan yang paling tinggi
adalah kecintaan kepada-Nya. Sementara itu kelezatan yang paling sempurna akan
bisa digapai berbanding lurus dengan dua hal ini, Allahul musta’aan.” (lihat
al-Fawa’id, hal. 52 cet. Dar al-‘Aqidah)
[25] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hidayah adalah
pengetahuan tentang kebenaran yang disertai keinginan untuk mengikutinya dan
lebih mengutamakan kebenaran itu daripada selainnya. Orang yang mendapat
hidayah adalah orang yang melaksanakan kebenaran dan benar-benar
menginginkannya. Itulah nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada
seorang hamba. Oleh sebab itu Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita
untuk meminta kepada-Nya hidayah menuju jalan yang lurus setiap sehari semalam
dalam sholat lima waktu yang kita lakukan. Karena sesungguhnya setiap hamba
membutuhkan ilmu untuk bisa mengenal kebenaran yang diridhai Allah dalam setiap
gerakan lahir maupun batin. Apabila dia telah mengetahuinya dia masih membutuhkan
sosok yang memberikan ilham kepadanya untuk mengikuti kebenaran itu, sehingga
kemauan itu tertancap kuat di dalam
hatinya. Setelah itu, dia juga masih membutuhkan sosok yang membuatnya mampu
melakukan hal itu. Padahal, sesuatu yang telah dimaklumi bahwasanya apa yang
tidak diketahui oleh seorang hamba itu berlipat ganda jauh lebih banyak
daripada apa yang sudah diketahuinya. Disamping itu, tidaklah semua kebenaran
yang diketahuinya itu secara otomatis dikehendaki oleh jiwanya. Seandainya
menghendakinya, tetap saja dia tidak mampu untuk mewujudkan banyak hal di
dalamnya.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [1/25-26])
[26] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah
mengaitkan antara hidayah dengan jihad/kesungguh-sungguhan [lihat QS. Al-Ankabut:
69]. Ini artinya, orang yang paling besar hidayahnya adalah yang paling besar
jihadnya. Sedangkan jihad yang paling wajib adalah jihad menundukkan jiwa dan
berjuang mengendalikan hawa nafsu, berjihad melawan syaitan, dan berjihad
melawan [ambisi] dunia. Barangsiapa yang berjihad melawan keempat hal ini Allah
tunjukkan kepadanya jalan-jalan keridhaan-Nya yang mengantarkan ke surga-Nya.
Barangsiapa yang meninggalkan jihad itu maka dia akan kehilangan hidayah
sekadar dengan jihad yang ditelantarkannya.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir [4/518])
[27] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Apabila mengangkat
suara mereka lebih tinggi daripada suara beliau itu menjadi sebab terhapusnya
amalan mereka [lihat QS. Al-Hujurat: 2]
lantas bagaimana lagi dengan orang yang lebih mendahulukan pendapat
mereka, akal mereka, perasaan mereka, politik mereka, atau pengetahuan mereka
daripada ajaran beliau bawa dan mengangkat itu semua di atas sabda-sabda
beliau? Bukankah itu semua lebih pantas lagi untuk menjadi sebab terhapusnya amal-amal
mereka?” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/407])
[28] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Setiap orang yang
merasa takut kepada-Nya, lantas menunaikan ketaatan kepada-Nya yaitu dengan
melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, maka
dialah sesungguhnya orang yang alim/berilmu.” Suatu ketika, ada orang yang
berkata kepada asy-Sya’bi, “Wahai sang alim/ahli ilmu.” Maka beliau menjawab,
“Kami ini bukan ulama. Orang yang alim adalah orang yang merasa takut kepada
Allah.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala at-Tafsir [5/98])
[29] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Para ulama
suu’/jahat duduk di depan pintu surga seraya menyeru manusia supaya masuk ke
dalamnya dengan ucapan lisan mereka. Akan tetapi mereka mengajak kepada neraka
dengan amal perbuatan mereka. Setiap kali ucapan mereka mengajak manusia,
“Kemarilah!” maka perbuatan mereka justru berkata, “Jangan kalian dengarkan
ucapannya.” Karena seandainya apa yang dia serukan adalah kebenaran maka
niscaya dia adalah orang yang pertama kali melakukannya. Mereka itu secara
lahir tampak sebagai pemberi petunjuk, akan tetapi pada hakikatnya mereka
adalah perampok.” (lihat al-Fawa’id, hal. 60)
[30] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyari’atkan bagi umatnya kewajiban mengingkari
kemungkaran yang dengan tindakan pengingkaran itu diharapkan tercapai suatu
perkara ma’ruf/kebaikan yang dicintai oleh Allah dan rasul-Nya. Apabila suatu
bentuk pengingkaran terhadap kemungkaran justru menimbulkan perkara yang lebih
mungkar dan lebih dibenci oleh Allah dan rasul-Nya maka tidak boleh melakukan
tindak pengingkaran terhadapnya, meskipun Allah dan rasul-Nya memang
membencinya dan murka kepada pelakunya. Contohnya adalah mengingkari penguasa dan
pemimpin dengan cara melakukan pemberontakan kepada mereka. Sesungguhnya hal
itu merupakan sumber segala keburukan dan terjadinya fitnah hingga akhir masa.
Barangsiapa yang memperhatikan musibah yang menimpa umat Islam berupa fitnah
yang besar maupun yang kecil maka dia akan bisa melihat bahwasanya hal itu
timbul akibat menyia-nyiakan prinsip ini dan karena ketidaksabaran dalam
menghadapi kemungkaran sehingga orang pun nekat untuk menuntut dilenyapkannya
hal itu, namun yang terjadi justru memunculkan musibah yang lebih besar
daripada -kemungkaran- itu.” (lihat ta’liq Syaikh Raslan dalam al-Amru bil
Ma’ruf wa an-Nahyu ‘anil Munkar, hal. 25)
[31] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang
membiasakan dirinya untuk beramal ikhlas karena Allah niscaya tidak ada sesuatu
yang lebih berat baginya daripada beramal untuk selain-Nya. Dan barangsiapa
yang membiasakan dirinya untuk memuaskan hawa nafsu dan ambisinya maka tidak
ada sesuatu yang lebih berat baginya daripada ikhlas dan beramal untuk Allah.”
(lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 7)
[32] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tingginya
cita-cita seseorang adalah tanda kebahagiaannya, sedangkan rendahnya cita-cita
seseorang adalah tanda bahwa dia tidak akan menggapai kebahagiaan itu.” (lihat
Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 13)
[33] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Salah satu tanda
ikhbat/ketundukan hati dan keikhlasan diri seseorang adalah tidak bergembira
dengan pujian manusia dan tidak merasa sedih semata-mata dengan celaan mereka.”
(lihat Ma’alim Fi Thariq al-Ishlah, hal. 29)
[34] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sumber
munculnya kesyirikan kepada Allah adalah kesyirikan dalam hal cinta.
Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala (yang artinya), “Sebagian
manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu. Mereka mencintainya
sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Adapun orang-orang yang beriman
lebih dalam cintanya kepada Allah.” (QS. al-Baqarah: 165)” (lihat ad-Daa’ wa
ad-Dawaa’, hal. 212)
[35] Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sungguh sebuah
perkara yang amat mengherankan tatkala kamu telah mengenal-Nya lantas kamu
justru tidak mencintai-Nya. Kamu mendengar da’i yang menyeru kepada-Nya namun
kamu justru berlambat-lambat dalam memenuhi seruan-Nya. Kamu menyadari betapa
besar keuntungan yang akan dicapai dengan bermuamalah dengan-Nya namun kamu
justru memilih bermuamalah dengan selain-Nya. Kamu mengerti betapa berat resiko
kemurkaan-Nya namun kamu justru nekat membangkang kepada-Nya. Kamu bisa
merasakan betapa pedih kegalauan yang muncul dengan bermaksiat kepada-Nya namun
kamu justru tidak mau mencari ketentraman dengan cara taat kepada-Nya. Kamu
bisa merasakan betapa sempitnya hati tatkala sibuk dengan ucapan selain-Nya dan
meninggalkan pembicaraan tentang-Nya. Akan tetapi kamu tidak mencari kelapangan
hati dengan berdzikir dan bermunajat kepada-Nya. Kamu bisa merasakan betapa
tersiksanya hatimu tatkala bergantung kepada selain-Nya namun kamu tidak
meninggalkannya menuju kenikmatan pengabdian serta kembali bertaubat
kepada-Nya. Dan yang lebih aneh lagi daripada itu semua adalah kesadaranmu
bahwa kamu pasti membutuhkan-Nya dan Dia adalah Dzat yang paling kamu butuhkan,
akan tetapi kamu justru berpaling dari-Nya dan mencari-cari sesuatu yang
menjauhkan dari-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 45 cet. Dar al-‘Aqidah)
[36] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sholat tanpa
kekhusyu’an dan hati yang hadir seperti badan yang mati, tak ada ruh padanya.”
(lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 11)
[37] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
kebenaran yang belum kita ketahui jumlahnya jauh berkali lipat lebih banyak
daripada kebenaran yang sudah kita ketahui. Kebenaran yang sudah kita ketahui
dan tidak ingin kita kerjakan kerena faktor meremehkan atau malas bisa jadi seimbang
jumlahnya dengan kebenaran yang ingin kita kerjakan, atau bahkan jauh lebih
banyak, atau kurang dari itu. Begitu pula, kebenaran yang tidak sanggup kita
lakukan dibandingkan dengan yang sanggup kita lakukan pun demikian keadaannya.
Kebenaran yang sudah kita ketahui secara global pun mungkin masih terlalu
banyak yang tidak kita ketahui rinciannya. Oleh sebab itulah maka kita
membutuhkan hidayah yang sempurna.” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 9)
[38] Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Keberuntungan paling
besar di dunia ini adalah kamu menyibukkan dirimu di sepanjang waktu dengan
perkara-perkara yang lebih utama dan lebih bermanfaat untukmu kelak di hari
akherat. Bagaimana mungkin dianggap berakal, seseorang yang menjual surga demi
mendapatkan kesenangan sesaat? Orang yang benar-benar mengerti hakikat hidup
ini akan keluar dari alam dunia dalam keadaan belum bisa menuntaskan dua
urusan; menangisi dirinya sendiri -akibat menuruti hawa nafsu tanpa kendali-
dan menunaikan kewajiban untuk memuji Rabbnya. Apabila kamu merasa takut kepada
makhluk maka kamu akan merasa gelisah karena keberadaannya dan menghindar
darinya. Adapun Rabb (Allah) ta’ala, apabila kamu takut kepada-Nya niscaya kamu
akan merasa tentram karena dekat dengan-Nya dan berusaha untuk terus mendekatkan
diri kepada-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 34
Masya Allah
BalasHapusAlhamdulillah benar benar bermanfaat
BalasHapusBaarokallooh
BalasHapus